Cerita Pendek

CERPEN: Untuk yang Tercinta

Sebuah petang yang mendung menggantung di kaki langit. Gerimis panjang luruh membasahi tanah-tanah. Daun-daun basah kilau bercahaya tersapu matari redup-redah. Biasanya pada senja muram bergerimis seperti ini kau akan menghampiriku di samping jendela dapur yang letaknya tepat menengadah pada lautan lepas. Biasanya pada senja bergerimis seperti ini, kau suka sekali mengepulkan asap dari tungku batu, membuat teh untuk kita bertiga kemudian membicarakan kebaikan-kebaikan ayah sampai kulihat matamu berkaca-kaca. Lalu kau akan tersenyum di akhir cerita sambil memeluk pundak kedua anakmu. Atau biasanya di senja bergerimis seperti ini kau selalu siaga diatas kursi rotan, membelai rambut anak bungsumu yang perempuan, sambil menungguiku pulang mandi hujan lalu kau akan memarahiku kemudian menuangkan air hangat dari tungku untuk mandiku sambil mulutmu komat-kamit mengeluarkan ocehan-ocehan ringan yang isinya lebih banyak kasih-sayang daripada amarah.

Ada 2.023 km jarak terbentang antara Yogyakarta – Ambon dan betapa aku sadar peluk ringan tanganmu merintih kerinduan. Ingin mendekapku, menghujam pipi-pipiku, juga dahiku dengan ribuan kecupan sampai kau puas. Lantas kau akan menuntunku menuju ambang jendela kayu itu lagi lalu cerita-cerita tentang kebaikan ayah akan kau tuturkan penuh khidmat tanpa mau melepas pandang barang sedetikpun dari lautan biru. Nasibmu memang kurang beruntung atau bahkan tak pernah beruntung, kekasih. Sembilan tahun menjanda tak ada sekalipun pernah ketika lebaran atau di hari-hari Jumat biasa kau pergi menziarahi kubur. Suamimu, pria bermata lembut itu, ayahku yang samar-samar wajahnya terekam di ingatanku itu, lebih memilih lautan menjadi tempat penyatuannya dengan ruh Illahi. Kukira dia memang sengaja pergi dengan cara demikian supaya luka hatimu tak begitu dalam. Sayang, pilihannya salah besar.   

Mamaku, Halimaku, gadis semata wayang Haji Rahman, kupinta dari ujung kaki hingga ujung kepalamu redalah tangismu. Simpan rindumu. Tepis risaumu. Aku berjanji takkan tertembak peluru polisi hari ini. Mungkin besok lusa, atau nanti. Tak ada yang tahu.

Mama, nanti subuh, ketika modim Ta’ib mengumandangkan adzan di Masjid Nurul Awal, sedangkan di Yogya aku masih meringkuk kedinginan beralas tikar anyaman, kirimilah Al-Fatihah dalam sujud terakhirmu demi keselamatan anakmu ini.

Mama, malam ini aku sedang di Kulon Progo. Jaraknya empat puluh kilo di sisi barat Yogya. Ada sebuah ajakan sederhana bagi orang-orang biasa seperti ku, juga seperti Mama tentu saja, untuk sekadar menjadi tempat berbagi resah orang-orang yang tergusur di sini. Tak perlu khawatir, aku cukup makan di sini, Ma. Ya meskipun hanya 2 x sehari. Tak mengapa, sebab orang-orang disini juga begitu. Bahkan ada yang tak makan samasekali. Mau bagaimana lagi, rumah-rumah mereka telah digusur, lahan garapan hilang, diganti dengan patok oleh orang-orang perusahaan dan pelayan perusahaan. Katanya hendak membangun sebuah bandar udara baru. Mengganti bandara lama yang sudah tak muat menampung turis-turis.

Orang-orang perusahaan itu juga para pelayan perusahaan (kami menyebutnya pemerintah) itu, ingin rasanya aku kirim mereka tinggal bersama Mama. Supaya Mama ajarkan bagaimana menjadi sederhana. Mereka tak pandai bersyukur, Ma. Juga tak punya etika. Kalau bisa, sekali waktu datanglah kemari suapi mereka dengan papeda[1] rendam air putih. Biar mereka paham, betapa hambar papeda tanpa ikan kuah pala. Sebagaimana hambar nasib petani tanpa lahan garapan. Sesuatu yang telah mereka rampas dari orang-orang Kulon Progo. Lemparkan saja mereka ke laut di belakang dapur kita, Mama. Suruh menyelam bersama ikan garopa, palala, lema, juga bubara biar mereka pada mafhum, ikan-ikan itu tak akan mampu berenang meliuk-liuk lincah apabila lautannyadikuras. Sebagaimana telah mereka kuras ruang hidup orang-orang Kulon Progo.

Nanti akan kuceritakan lebih jauh tentang Kulon Progo, Mama. kalau sudah pulang nanti. Sejujurnya, jika kau tak keberatan, aku ingin meminta beberapa helai selimut rajutmu untuk dipakai anak-anak disini. Udara malam di sini begitu dingin, Mama. Kasihan mereka tak punya selimut. Tadi siang, sebelum aku dan rombonganku tiba di sini rumah mereka baru saja digusur. Mereka melawan. Tak tinggal diam. Anak-anakpun ikut melawan. Lalu sebagaimana biasa, mereka kalah. Tak ada Spiderman, Iron Man, Captain Amerika atau si rakasa ijo Hulk di sini. Lagipula, Marvell tak mau rugi superhero tangguhnya terjun ke Kulon Progo, tak ada bayaran, Ma. Mau dibayar pakai singkong pun kebun singkong sudah tak ada.Yang tersisa Cuma nasi aking, yang jadi soal bisakah lidah Iron Man cs beradaptasi dengan nasi aking?

Mama, ada seorang perempuan muda disini, Sirah namanya. Dia tidak bersekolah, sama seperti Mama. Jadi tak usah khawatir. Mama tak akan punya menantu yang congkak karena merasa diri pintar, mapan, hedon lalu hilang rasa hormat pada ibu mertua. Biarpun tak sekolah, tapi adabnya baik, tutur katanya juga lembut. Lagipun sekolah hanya mengajarkan orang utuk pergi Ma, bukan untuk pulang.

Beberapa hari lalu, aku bertemu Wate[2] Samsuri putra sulung Haji Saman di alun-alun Kidul. Lengkap dengan anak-istrinya. Kita banyak bertukar cerita, Ma. Termasuk kabar Haji Saman yang terpaksa menjual kebun pala 30 hektarnya di kampung untuk makan sehari-hari dan biaya berobat rumah sakit. Wate Samsuri sedih mendengar itu, Ma. Katanya kebun pala itu dijualah untuk membiayai sekolah dia dan kelima orang adiknya hingga sarjana. Tapi sayang, setelah sarjana, semua anaknya pergi merantau tak pulang-pulang. Wate Samsuri ingin balik kampung, Ma. Ingin mengabdi pada si ayah disisa-sisa waktunya menghirup udara dunia. Telah dia utarakan niat itu pada istri juga mertuanya yang di Yogya, tapi sayang. Ide itu ditolak mentah-mentah istrinya. Alasannya sederhana, si istri yang montok subur itu tak terbiasa dengan cuaca di Ambon. Terlalu panas katanya. Cukup masuk akal memang. Tapi aku tak bisa berhenti menggeleng kepala mendengar itu. Jangan sampaikan berita ini pada Haji Saman, Ma. Nanti semakin kering airmatanya. Kasihan tubuh renta itu tak lagi punya banyak cairan tubuh.

Oh iya, mari kembali membahas Sirah. Aku ingin membawa serta Sirah pulang ke Ambon. Menjadikan dia sebagai menantu Mama. Sirah insya Allah tak akan takut panas, Ma. Sebagaimana istri Wate Samsuri. Sebab ia petani. Asli Kulon Progo juga. Akan tergusur juga.

Lahan milik keluarganya akan diambil perusahaan. Katanya ia akan bertahan habis-habisan, Ma. Sekuat daya. Sekuat tenaga.

“Kae diundurkan kae. Aku njaluk tulung kae diundurke, nek aku dikon bali[3]” Protes Sirah tegas tepat dibatang hidung si operator buldoser.

Sirah kekeh melawan, Ma. Perlawanan yang paling cerdas kurasa. Dia data seluruh jumlah kekayaan yang dimiliki semua petani Kulon Progo. Jumlah tanaman, hewan ternak, luas lahan, rumah, dan apa saja bersifat materi. Data itu betul-betul dipakainya sebagai argumen tandingan untuk memprotes besaran ganti rugi dari pihak Angkasa Pura yang menurutnya tak sesuai. Tujuan utamanya bukanlah persoalan ganti rugi itu tapi mencegah penggusuran. Total pendapatan beserta aset petani Kulon Progo menyentuh angka belasan miliaran rupiah per tahun. Angka yang membuat para petinggi Angkasa Pura I pura-pura mengernyitkan dahi. Yakinlah, Ma, rupiah sebesar tak ada apa-apanya bagi mereka.

 Untuk sementara waktu urusan tawar – menawar terkait ganti rugi disetop. Semua warga yang tanahnya terkena kaplingan meminta besaran ganti rugi berdasarkan data yang dihimpun Sirah. Tuan mandor lapangan berperut buncit dan berkepala plontos terlihat jengkel. Naik pitam dia. Didekatinya Sirah lalu melihat anak gadis itu dengan pandang melecehkan. Berbisik pada kawannya;

“Gadis kampungan ini merusak semua rencana. Cuihh. Awas saja kalau sampai dia kalah. Akan aku bikin jadi sundal di pasar malam”

Entah bagaimana bisa, tapi Sirah menangkap kata-katanya. Penuh rasa murka ia membalas;

“Hei Tua Bangka. Kalau sudah tak punya tanah untuk kuburanmu minta saja kami akan beri. Asal jangan merampas hak kami seperti ini. Otak iblis”

Si Botak makin naik darah. Mukanya merah melebihi udang goreng.

“Kita lihat saja nanti. Kau akan menangis airmata darah di pengadilan,sundal kecil” katanya kemudian. Lalu pergi.

Itu untuk kali pertama, Ma, aku lihat Sirah menangis. Entah karena dibilang sundal atau karena dia sadar jika dibawa ke pengadilan mereka tak akan pernah menang. Mereka tetap akan tergusur, Ma. Minggat entah kemana.

Sambil terisak dia berkata padaku, meminta negara hadir ditengah-tengah mereka kemudian membela hak-hak atas tanah mereka. Aku tersenyum kecut mendengar rintihan itu, Ma. Negara sedang tidur siang, tak bisa diganggu. Jawabku kemudian.

Tak sampai dua hari, putusan pengadilan negeri telah keluar. Jangan heran prosesnya, bisa secepat kilat begitu, uang bisa mengatur segalanya, Ma. Hasilnya jelas seperti yang diduga sebelumya. Besaran ganti rugi terhadap tanah warga Kulon Progo tetap sama seperti sebelumnya. Total ganti rugi tetap berjumlah 8.3 miliar dan akan dicicil dalam tiga kali pembayaran. Sah dan tak bisa diganggu-gugat! Tok. Tok. Tok.

Kulihat Sirah seperti orang gila sepulang dari pengadilan. Tatapannya kosong tanpa warna. Airmukanya datar tak menampakkan kesan apa-apa. Sedang air mata tak ada henti-hentinya jatuh melalui kantung matanya yang hitam. Sembab dan basah.

Sirah begitu kurus, Ma. Makannya sudah tak betul satu minggu ini. Tidurnya juga begitu. Semalam suntuk aku menemaninya bercerita tentang kenangan-kenangan masa kecilnya di Palihan ini. Kala malam dibawah sinar jingga purnama ia terbiasa duduk manis di atas dipan dibawah lingkar teduh pokok mengkudu sembari terlentang menghadap langit. Berulang kala merangkai rasi-rasi bintang menjadi apa saja yang diingini. Pada langit, pada kitab yang maha luas itu, pernah dia lukiskan sebuah kebun, miliknya sendiri, yang akan ditamaninya dengan beberapa anakan kopi disebelah utara, cili keriting dibagian barat, dua petak lainnya untuk tomat bunga. Bagian timur untuk pepaya semangka, selatan untuk jagung dan ubi kayu lalu disisipi ketela rambat dibawahnya. Sebuah rumah panggung ukuran 4×6 akan dia bangun di tengah-tengah, supaya bisa melihat seisi kebunnya dari atas teras gantung.

Harus ada kandang ayam di kolong rumah tentu saja. Supaya kebun tak sunyi katanya.Yang paling penting mesti ada seorang pria yang menemani. Biar bisa bantu-bantu di kebun. Siapa saja boleh, tapi kalau bisa pria tersebut sekalian saja adalah suaminya. Dia mengatakan itu lantas melihat padaku. Lalu dapat kubaca sebuah isyarat pada matanya yang bening. Jujur, aku begitu ingin mewujudkan isyarat itu, Ma. Semoga Tuhan memberiku kesempatan. Sungguh aku butuh doa Mama sekarang. Sirah segera terlelap. Aku juga. Selamat malam, Ma. Jangan lupa doanya.

Pagi-pagi betul Sirah sudah tidak ada di sampingku. Barangkali sedang di belakang membuatkan teh atau membasuh muka. Kulanjutkan berbaring. Lama kutunggu tapi dia tak datang-datang. Di luar, meski masih pagi buta begini, deru mesin buldoser sudah sibuk mengacaukan pagi yang tenang di Kulon Progo.

Gerimis tipis turun, angin silir lewat menyentuh kulit kakiku menegakkan bulu roma merasuk hingga ke ubun-ubun. Seorang bocah laki-laki datang basah-basahan menghampiriku, mengabarkan Sirah tengah menghadang dua buah boldoser seorang diri. Tanpa pedang, tombak, atau tameng baja. Tak bersenjata apa-apa kecuali tangan kosong dan tekad sekukuh baja.

Tergesa-gesa kususul si anak kecil untuk menemukan di mana Sirah berada. Sesampainya di atas gundukan tanah dekat telaga, kupandangi sesosok tubuh kurus lemah tak berdaya sedang berdiri dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Limbung tubuhnya, terkena dorongan sedikit saja pasti jatuh dia. Bibirnya pucat, pandangnya nanar, badan kurus kering seperti penderita busung lapar. Biar begitu masih mau melawan, Ma.

Dia bentangkan kedua tangannya menghentikan laju boldoser yang ingin melibas habis rumah dan pekarangannya. Ada sebuah karton bekas yang dia sandang di leher, bertulis; “Tolong, Pak. Jangan gusur  kami!” Itu bukan lagi perlawanan, Ma. itu permohonan atas nama kemanusiaan. Benteng terakhir yang dimiliki. Sayang, si mandor lapangan sudah lama kehilangan hati.

Maka dengan enteng, si plontos bejat itu memerintahkan seorang kopral disampingnya mengarahkan bedil tepat kearah jantung Sirah. Langit mendung, gerimis mengguyur deras, seekor gagak siap siaga di atas ranting kering pokok beringin, semua mulut terkunci tak dapat berkata apa-apa. Satu nyawa lagi akan dijemput Israfil di Kulon Progo, Mama.

Taaannngggg. Sebutir timah panas lepas dari selongsong, melayang menembus udara basah Kulon Progo, menghujam tepat didada kiriku.

Kirimi aku Al-Fatihah, Mama.


[1] Papeda: Bubur sagu

[2]Wate: Paman

[3]“Alat berat itu mesti dimundurkan. Saya minta tolong itu dimundurkan, kalau saya disuruh pulang”

_______________
Almin Patta
Pegiat di Komunitas Pecinta Seni (KOPI) Wakal

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?